INFOMIGAS.ID – Jakarta | Adanya pembatasan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk sektor industri menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pelaku industri manufaktur nasional. Kebijakan tersebut dinilai akan berpotensi tergganggunya stabilitas produksi, menurunkan daya saing serta mengancam keberlangsungan usaha di berbagai sektor.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, menegaskan bahwa dampak dari pembatasan gas murah tidak bisa dianggap sepele. Selain berpotensi menurunkan utilisasi pabrik, kebijakan ini juga membuka peluang terjadinya penutupan usaha dan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal.
“Lebih dari 100 ribu pekerja di sektor penerima manfaat HGBT akan terdampak. Bila industri menurunkan kapasitas atau menutup pabrik, PHK tidak dapat dihindarkan,” tegas Febri dalam keterangan resmi di laman Kemenperin, Senin (18/8/2025).
Selain berdampak pada tenaga kerja, lanjut Febri, kenaikan harga gas juga akan memicu lonjakan harga produk akhir, yang pada akhirnya melemahkan daya saing industri nasional.
“Jika bahan baku naik, otomatis harga produk juga naik. Akibatnya, daya saing industri nasional melemah dan kalah bersaing dengan produk dari luar negeri,” katanya.
Ia menekankan bahwa kestabilan pasokan energi merupakan syarat mutlak untuk memastikan keberlanjutan sektor industri nasional. Jika tidak terjaga, target pemerintah dalam mendorong investasi, industrialisasi, dan penciptaan lapangan kerja bisa terganggu.
Febri juga mengingatkan bahwa pembatasan HGBT tidak selaras dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto, yang dalam visi Asta Cita menekankan pentingnya kemandirian energi, hilirisasi industri, dan penciptaan lapangan kerja.
“Pengurangan pasokan ini akan berdampak pada ketersediaan pupuk, yang merupakan komponen strategis bagi ketahanan pangan. Industri oleokimia juga terkena imbasnya, sehingga kebutuhan dalam negeri dapat terganggu,” jelasnya.
Kemenperin mempertanyakan alasan pembatasan pasokan yang dinilai tidak konsisten. Febri menyatakan bahwa apabila pasokan memang terbatas, seharusnya industri tidak dapat membeli gas dengan harga tinggi.
“Karena jika pasokan terbatas, mengapa industri masih bisa membeli gas ketika harganya melonjak hingga USD 17 per MMBTU? Sedangkan gas harga USD 6,5 pasokannya terbatas. Ini patut dipertanyakan,” ujarnya.
Menurut Febri, nilai tambah industri hilir yang menggunakan gas murah jauh lebih besar dibanding potensi pendapatan negara dari penjualan gas di hulu. Ia menyarankan agar fokus penerimaan negara diarahkan pada sektor hilir.
“Karena itu, lebih bijak bila pendapatan negara difokuskan pada pajak produk hilir hasil hilirisasi gas HGBT ini, bukan pada gas di hulu,” paparnya.
Febri optimistis bahwa jika HGBT tetap dipertahankan di level USD 6,5 per MMBTU dan pasokannya dijaga stabil, maka target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen sebagaimana dicanangkan Presiden bisa tercapai.
“Insya Allah, dengan kebijakan yang tepat, target pertumbuhan itu bukan hanya impian, melainkan dapat benar-benar diwujudkan,” pungkasnya.[*]