INFOMIGAS.ID | Jakarta — Finalisasi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) kemungkinan besar akan lebih diprioritaskan daripada revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto.
Sugeng mengungkapkan bahwa revisi UU Migas sudah terkatung-katung selama lebih dari 12 tahun akibat kurangnya komitmen dari pihak pemerintah. Padahal, proses revisi UU merupakan bagian dari kesepakatan politik bersama antara DPR dan pemerintah.
“Nampaknya RUU EBET dulu, RUU Migas mundur lagi. Ya karena RUU EBET itu, kalau saya bisa, dalam waktu paling lama tiga bulan (selesai),” kata Sugeng Suparwoto kepada bloombergtechnoz.com ,(9/7/2025).
Ia menambahkan, hingga saat ini belum ada sinyal kuat dari pemerintah untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Migas.
“(Kalau ditanya RUU Migas) di DPR itu saya malu. Kenapa? Ingat pembentuk UU tidak hanya DPR, tetapi juga pemerintah. Hari ini yang tidak ingin segera dibuat baik UU EBET, maupun RUU Migas pemerintah kok,” ujarnya.
Sugeng juga menyoroti sikap pemerintah yang tidak kompak dalam mengembalikan mandat pengelolaan sektor migas ke PT Pertamina seperti amanat UU No. 8 Tahun 1971 dan UU No. 22 Tahun 2001.
Menurutnya, Pertamina saat ini tidak banyak dilibatkan dalam kontrak-kontrak migas, karena diposisikan sebagai operator, bukan regulator.
“Dia (Pertamina) sesama operator, (masak) dia juga regulator sekaligus operator itu alasannya KKKS yang lain,” ucap Sugeng.
Meskipun RUU Migas selalu masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas setiap tahun, kata Sugeng, tapi justru pemerintah tidak mendorong pembahasannya.
DPR, kata dia, sudah berulang kali mencoba mendorong percepatan revisi UU tersebut melalui pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan mengkaji pasal-pasal yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, upaya tersebut terus gagal karena tidak mencapai kuorum dan minimnya dukungan dari pemerintah.
“Kami merujuk ke situ, tetapi tidak pernah mencapai kuorum. Bahkan, dari sisi pemerintah sendiri menunda dan ini fakta yang ada,” imbuh Sugeng.
Ia juga memaparkan bahwa saat ini DPR memiliki tiga skala prioritas dalam regulasi energi:
- Menuntaskan RUU EBET
- Menyelesaikan RUU Migas
- Menuntaskan RUU Kelistrikan
UU Migas Sudah Tidak Relevan
Dalam forum yang sama, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menegaskan urgensi revisi UU Migas. Ia mengatakan bahwa regulasi yang sudah berusia 24 tahun ini tidak lagi sesuai dengan dinamika industri migas saat ini.
“Kalau dari analisis kami, paling tidak 60% ketentuan yang ada di dalamnya sudah tidak dibutuhkan,” kata Komaidi.
Ia menyoroti bahwa UU Migas sudah tiga kali diuji di Mahkamah Konstitusi dan sejak tahun 2008 MK telah memerintahkan agar UU ini diamandemen. Namun, hingga kini belum ada kejelasan atau tindak lanjut berarti dari pemerintah maupun DPR.
Komaidi juga menyinggung keberadaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang telah dibubarkan. Fungsinya kini dijalankan oleh SKK Migas yang berdiri berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres), bukan undang-undang.
“Pengusaha migas saat ini berkontrak dengan wakil negara yang secara regulasi diatur di bawah kekuatan undang-undang yang sangat rentan,” ujarnya.[*]
*Bloomberg/kbc