Infomigas.id | Jakarta– Kebutuhan gas untuk industri pupuk diperkirakan akan terus meningkat pada tahuh tahun mendatang. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya produksi dan kebutuhan terhadap pupuk.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menyebutkan, kebutuhan gas untuk industri pupuk diproyeksi mencapai 820 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) pada 2026. Selanjutnya bertambah menjadi 850 MMSCFD pada tahun 2027 dan 2028, selanjutnya naik menjadi sebanyak 950 MMSCFD di tahun 2029, serta kenaikan menjadi sebesar 1.076 MMSCFD pada pada 2030. “Maka hal ini memerlukan koordinasi dan keseriusan segala pihak agar dapat memastikan kebutuhan gas industri dapat dipenuhi industri gas nasional,” kata Tutuka pada rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (3/4/24).

Menurutnya, dari tujuh jenis industri yang mendapatkan fasilitas kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) atau gas murah 6 dollar AS per MMBTU, industri pupuk adalah yang paling besar yang menggunakan gas dalam produksinya.
“Bidang pupuk merupakan industri yang menggunakan input gas bumi paling besar, yaitu 58,48 persen dalam biaya produksinya,” sebut dia. Kendati demikian, Tutuka memahami HGBT berdampak positif untuk industri pupuk guna meningkatkan produksi, penetapan harga, penjualan, pajak dan penyerapan gas.
Pada bagian lain, Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero) Rahmad Pribadi mengaku, ketersediaan gas sangat penting dalam menentukan produksitivitas industri pupuk, karena gas merupakan komponen utama dalam memproduksi Urea dan NPK. “Komponen gas pada produksi Urea mencapai 71 persen sedangkan NPK 5 persen. Maka ketersediaan gas dan akses harga gas yang murah menjadi pendukung utama untuk produktifitas pertanian kita,” katanya.
Rahmad menjelaskan, pada tahun ini dari 5 pabrik pupuk yang ada, masih ada tiga pabrik pupuk milik Pupuk Indonesia Grup yang belum mendapatkan alokasi gas sesuai kebutuhan. Tiga pabrik pupuk itu adalah PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) pada 2024 membutuhkan gas sebesar 54 MMSCFD, namun realisasi pasokannya masih 46 MMSCFD.
Lalu, PT Pupuk Sriwijaya membutuhkan alokasi gas 186 MMSCFD namun realisasi pasokan baru 163 MMSCFD. Kemudian PT Pupuk Kujang membutuhkan 101 MMSCFD, namun realisasi pasokannya masih 98 MMSCFD.
Rahmad mengatakan, untuk mengantisipasi kebutuhan gas, Pupuk Indonesia terpaksa harus mengadakan gas komersil dalam bentuk LNG dengan harga komersil 12,6 dolar AS per MMBTU. “Dampaknya jadi temuan BPK, karena seharusnya kita enggak bisa memakai gas di luar harga HGBT, tetapi karena kami harus menutup kekurangan gas, maka kami harus ambil LNG,” jelas Rahmat. [*]