INFOMIGAS.ID | Jakarta– Deretan perusahaan minyak besar dunia gonjang ganjing setelah anjloknya harga minyak mentah. Harga minyak mentah dunia nyungsep akibat dihajar tiga aturan sekaligus , yaitu tarif baru dari Presiden Amerika serikat (AS) Donald Trump, tarif balasan dari negara China, dan keputusan negara negara penghasil minyak OPEC.
Berdasarkan Refinitiv, perdagangan terakhir pekan ini Jumat (4/4/2025) harga global minyak Brent ditutup di harga US$65,58 per barel atau jatuh 6,5%. Harga tersebut merupakan harga terendah sejak 20 Agustus 2021.
Harga minyak jenis WTI (West Texas Intermediate) terjun sebanyak 7,4% dan berakhir diharga US$61,99. Harga itu yang terendah sejak 26 April 2021 atau hampir empat tahun yang lalu ketika dunia diterpa pandemi.
Dalam dua hari, harga minyak Brent ambruk 12,5% dan WTI jatuh 13,6% atau hampir 14%.

Selama pekan ini, Brent turun sebesar 10,9%, penurunan mingguan paling besar dalam kurun waktu satu setengah tahun terakhir ini
Minyak WTI mencatat penurunan tertinggi selama dua tahun, yaitu 10,6%.
Harga minyak dunia nyungsep usai China menaikkan tarif pada barang-barang AS, sehingga memperburuk perang dagang. Perang dagang menimbulkan perkiraan dari para investor tentang tingginya peluang resesi global.
China, sebagai importir minyak terbesar di dunia, telah mengumumkan akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 34% untuk semua barang dari AS sejak 10 April nanti.
Bukan cuma China, negara-negara lain di dunia pun mulai bersiap untuk melakukan pembalasan pasca Presiden AS,Donald Trump menaikkan tarif ke level paling tinggi selama lebih dari satu abad terakhir.
Harga minyak dunia juga mendapatkan tekanan dari keputusan OPEC+ (Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya) yang memutuskan untuk menaikkan produksi lebih cepat dari rencana sebelumnya.Terkini, OPEC+ berencana menambah 411.000 barel per hari (bph) ke pasar pada bulan Mei, jauh lebih besar dari rencana awal yang hanya 135.000 bph.
Faktor lain yang menyebabkan perusahaan minyak dunia makin merana adalah keputusan pengadilan Rusia yang menetapkan fasilitas ekspor terminal Laut Hitam milik Konsorsium Pipa Kaspia (CPC) tidak perlu ditangguhkan.Keputusan ini mampu mencegah penurunan produksi dan pasokan minyak Kazakhstan.
Minyak, gas, dan produk olahan tetap bebas dari tarif baru Trump, tetapi kebijakan ini tetap bisa memicu inflasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan memperburuk sengketa dagang, yang semuanya bisa membebani harga minyak.
Perusahaan finalsial yang berbasic di AS, Goldman Sachs ikut memangkas proyeksi harga minyak untuk transaksi Desember 2025, masing-masing sebesar US$5 menjadi US$66 untuk Brent dan US$62 untuk WTI.
“Risiko terhadap proyeksi harga minyak kami yang telah dikurangi masih mengarah ke bawah, terutama untuk tahun 2026, mengingat meningkatnya risiko resesi dan pasokan OPEC+ yang lebih tinggi,” kata Daan Struyven, yang dikutip Reuters.
Perusahaan jasa keuangan yang lain, HSBC juga menurunkan perkiraan pertumbuhan permintaan minyak global untuk tahun 2025, dari 1 juta bph menjadi 0,9 juta bph, dengan alasan tarif dan keputusan OPEC+.
Sementara itu, para manajer investasi meningkatkan posisi beli bersih (net long) pada kontrak berjangka dan opsi minyak mentah AS dalam sepekan hingga 1 April, catat Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas AS (CFTC) pada Jumat.
Dengan berbagai phara itu, sederet perusahaan raksasa peeminyakan di dunia menghadapi tantangan dalam bisnis-nya. Harga jual yang semakin menurun akan membuat pendapatan perusahaan juga ikut terkondraksi.Dengan semakin terlambatnya pertumbuhan ekonomi global, demand juga belum bisa pulih dalam waktu singkat.(*)
*Sumber CNBC Indonesia