INFOMIGAS.ID | Jakarta — Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengonfirmasi bahwa perusahaan migas asal Inggris, Harbour Energy Plc, tengah dalam proses finalisasi untuk keluar dari proyek pengembangan ladang gas di Blok Tuna, Laut Natuna Utara.
Blok Tuna sebelumnya dikelola bersama antara Harbour Energy melalui anak usahanya Premier Oil Tuna B.V. dan perusahaan migas milik negara Rusia, JSC Zarubezhneft, dengan masing-masing memegang hak partisipasi (participating interest/PI) sebesar 50%.
“Sedang difinalisasi. Rusia ingin tetap di sini [Blok Tuna], Harbour lagi evaluasi lah untuk di farm out,” ungkap Kepala SKK Migas Djoko Siswanto saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senin (30/6/2025) petang.
Djoko menyebut pihaknya sedang mencari mitra baru yang mau menggantikan Harbour Energy sebagai pemegang sebagian PI di blok strategis tersebut. “Ya pengganti Harbour, tadi lagi evaluasi,” tambahnya.
Proyek Strategis dan Pertemuan Internasional
Proyek Blok Tuna sempat dibahas dalam kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Rusia, 18–20 Juni 2025 lalu. Di sela kunjungan tersebut, Djoko Siswanto bertemu Direktur Jenderal Zarubezhneft Asia Limited, Alexander Mikhaylov, untuk membahas kelanjutan proyek senilai Rp45,4 triliun itu.
Dalam pernyataan resmi setelah pertemuan bilateral, Presiden Rusia Vladimir Putin mengungkapkan komitmen Rusia untuk tetap aktif dalam proyek-proyek migas Indonesia, termasuk modernisasi ladang minyak tua.
“Kami bersedia untuk ikut serta dalam proyek baru di lepas pantai Indonesia dan juga melakukan modernisasi infrastruktur supaya mendongkrak minyak dari ladang tua,” ujar Putin di Istana Konstantinovsky, St. Petersburg, Kamis (19/6/2025) waktu setempat, yang kutip Bloomberg.
Sementara itu, Harbour Energy sudah mengindikasikan akan menunda keputusan investasi akhir atau Final Investment Decision (FID) hingga 2025, meskipun rencana pengembangan (PoD) telah disetujui sejak Desember 2022.
Penundaan ini, menurut CEO Harbour Energy Linda Zarda Cook, tak lepas dari sanksi Uni Eropa dan Inggris terhadap entitas Rusia menyusul invasi ke Ukraina.
“Di tempat lain di Indonesia, kami berupaya untuk mengembangkan rencana pengembangan lapangan yang telah disetujui untuk penemuan Tuna kami yang terkena dampak sanksi UE dan Inggris,” ujar Linda.
“Kami terus melakukan diskusi konstruktif dengan Pemerintah Rusia sebagai mitra kami, dan Pemerintah Indonesia untuk mencapai solusi, tetapi tidak mengantisipasi untuk dapat memulai FID hingga tahun depan [2024], yang berarti potensi keputusan investasi akhir akan diambil pada 2025,” lanjutnya.[*]
*Bloomberg/kbc