INFOMIGAS.ID | jakarta — Indonesia dapat meniru India yang mengimpor migas dari Rusia, tetapi masih bisa ‘bermesraan’ dengan Amerika Serikat (AS). Hal ini sebagai langkah antisipatif jika diplomasi tarif resiprokal dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump gagal.
“Tirulah India, yang masih mesra dengan AS, tetapi berdagang migas dengan Rusia,” kata Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) Hadi Ismoyo saat dihubungi, Kamis (10/7/2025).
Hadi menilai bahwa impor migas dari Rusia membawa risiko politik karena sanksi ekonomi yang dijatuhkan Barat terhadap Moskow dabn berdampak pada posisi sehingga posisi Indonesia. Ia menekankan bahwa pendekatan diplomatik yang hati-hati tetap bisa menjamin posisi netral Indonesia di mata dunia.
“Sekarang ini bukan soal berani atau tidak berani berdagang migas dengan Rusia, tetapi posisi kita sudah sangat terpojok,” kata Hadi yang dikutip bloombergtechnoz.com.
Kata Hadi, langkah Indonesia bergabung dengan BRICS dan usaha menjauh dari dominasi sistem keuangan AS ikut menambah beban diplomatik sehingga harsu dikelola secara cermat. Namun, apabila negosiasi tarif dengan AS gagal, maka tak ada lagi kepentingan Indonesia untuk terus mengimpor migas AS.
“Alternatif lain kecuali pemasok eksisting, sangat mungkin untuk melihat alternatif suplai dari Rusia,” tambahnya.
Ia juga menyebut bahwa faktor geografis dan komposisi bahan migas dari AS tidak menguntungkan Indonesia. Itu karena LPG dari AS memiliki kandungan yang berbeda dan memerlukan biaya modifikasi tambahan bagi pasar domestik.
Hadi juga menyarankan agar pemerintah, pandai memanfaatkan lobi perdagangan dengan tujuannya untuk mendapatkan keringanan tarif dari AS, yang saat ini mencapai 32%.
“Tidak mudah memang, tetapi layak dicoba. Semoga pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, mampu menggunakan ini untuk membuka dialog yang lebih win-win solution. Semua orang tidak menyangka memang, kita menghadapi perang tarif AS yang dahsyat ini,” imbuhnya.
Sebagai perbandingan, tarif impor produk dari Filipina sebesar 17%, Vietnam 20%, dan Malaysia 25%. Namun, Indonesia masih berada di bawah Thailand dan Kamboja yang masing-masing dikenai tarif 36%, serta Myanmar dan Laos sebesar 40%.[*]
* bloombergtechnoz.com/kbc