tulisan ini adalah pendapat penulis pribadi dan tidak mewakili pandangan atau sikap resmi dari media infomigas.id
INFOMIGAS.ID | Laut Barents, musim dingin 2025. Kabut es membentang di cakrawala. Tak ada suara manusia, tak ada jerit motor bor, bahkan tak ada percikan rantai jangkar.

Di tengah laut beku yang tak berpenghuni, sebuah rig raksasa milik Equinor berdiri angkuh—sunyi namun hidup.
Ia bergerak, menggali, menghitung, dan mengatur dirinya sendiri. Tak satu manusia pun berada di atas dek.
Semua dikendalikan ribuan kilometer jauhnya—oleh algoritma yang menganalisis, mengeksekusi, dan memutuskan.
Di Oslo, seorang teknisi muda menatap layar dengan lima belas panel data. Ia mengangguk kecil. “Produksi stabil.”
Di layar lain, AI menunjukkan reservoir baru yang belum terjamah. Laporan berjalan otomatis, tidak ada rapat, tidak ada tangan yang kotor. Energi mengalir, tapi suara manusia menghilang.
Apakah ini kemajuan? Atau justru sunyi yang mematikan?
-000-
Tahun 1859, Edwin Drake menggali ladang minyak pertama di Titusville, Pennsylvania.
Ia hanya bermodalkan palu, kayu, dan keberanian untuk gagal. Ia tidur dekat sumur, bercakap dengan buruh, dan melihat minyak sebagai mukjizat yang harus ditundukkan.
Kini, pengeboran dilakukan dari ratusan mil jauhnya. Sensor geospasial, pemetaan 3D, dan digital twin menggantikan firasat dan naluri.
Algoritma menggantikan dialog. Tak ada lagi lelaki tua yang mencium tanah untuk mendeteksi hidrokarbon. Tak ada lagi cerita. Yang ada hanya data.
Pertanyaannya: efisiensi ini untuk siapa?
-000-
Di Texas, ribuan buruh kehilangan pekerjaan saat ExxonMobil beralih ke sistem kontrol otomatis berbasis AI. Platform SCADA, dibantu IoT dan drone inspeksi, menyisir ladang minyak tanpa henti.
Biaya menurun 30%, laba meningkat 22%. Tapi di sudut jalan, warung makan pekerja tutup, anak-anak putus sekolah.
Teknologi mempercepat produksi. Tapi ia juga mempercepat ketimpangan.
Dalam laporan IEA (2024), lebih dari 480.000 pekerja energi dunia telah tergantikan sejak 2018 karena otomasi. Tak ada suara protes, karena mesin tidak mogok.
Di Kutub Utara, Rusia dan Norwegia berlomba menanam rig otomatis di bawah es. Di Samudera Hindia, India dan Cina menyisir ladang gas bawah laut dengan kendaraan bawah air tak berawak.
Di Antartika, algoritma iklim memprediksi zona cadangan litium yang sebelumnya tertutup es ribuan tahun.
Ketika alam sudah tak lagi menjadi pelindung, siapa yang akan menjadi penjaga terakhir?
Seorang peneliti ekologi di Tromsø menulis dalam jurnalnya: “Ketika kutub tak lagi dingin, maka yang beku adalah nurani kita.”
-000-
Amerika Serikat, 2022. Fracking mengubah peta energi dunia. Teknologi itu menyuntikkan cairan bertekanan tinggi ke dalam batuan serpih, membebaskan gas dan minyak dari kerak bumi.
Ekonomi lokal tumbuh—tapi tanah runtuh, air tercemar, dan desa-desa gemetar setiap malam oleh gempa mikro.
Seorang petani di Dakota Utara menulis di pagar rumahnya:
“Kami punya gas di bawah kaki kami, tapi kami tak lagi punya tanah untuk berpijak.”
Kemajuan nasional dibayar dengan kehilangan lokal. Teknologi menyamar sebagai pahlawan, tapi kerap menyimpan wajah kolonial.
Mobil listrik, panel surya, dan baterai litium adalah ikon masa depan hijau. Tapi di Republik Demokratik Kongo, anak-anak menggali kobalt dengan tangan kosong.
Di Bolivia, danau garam mengering karena penambangan litium masif. Dan di Indonesia, nikel diekstraksi tanpa pemurnian teknologi, dijual murah, dan meninggalkan lumpur merah di sungai-sungai kecil.
Indonesia adalah contoh sempurna: kaya logam strategis, tapi miskin kontrol atas nilainya.
Green tech bisa menjadi kolonialisme baru yang memakai seragam ramah lingkungan. Hijau di permukaan, tapi merah di dalam.
Di tengah paradoks ini, Al juga menawarkan solusi: algoritma prediktif Equinor di Norwegia mampu menghemat 15% energi dengan mengoptimalkan tekanan pengeboran.
Google DeepMind mengurangi 40% konsumsi pendingin data center via machine learning.
Teknologi, ketika diarahkan untuk keseimbangan, bisa menjadi jembatan antara efisiensi dan keberlanjutan.”
-000-
Di masa depan, perang energi bukan lagi soal invasi, tapi embargo teknologi. Negara-negara maju mengunci paten, menahan chip, dan memonopoli algoritma.
Mereka tidak lagi menyerang kilang, tapi menghalangi lisensi software.
China dan AS bertarung dalam senyap—bukan soal minyak, tapi siapa yang mengontrol standar global.
Dan Indonesia? Ia terjepit di antara keduanya—berlimpah sumber daya, tapi tergantung pada teknologi yang tak ia miliki.
Di Bojonegoro, ladang minyak tua terus menyala. Tapi pemuda-pemudanya kini bekerja di pabrik di Jawa Timur, bukan di sektor energi.
Universitas-universitas teknik belum mengajarkan digital twin atau pemetaan reservoir berbasis AI.
Indonesia punya nikel, batu bara, migas, dan tenaga kerja. Tapi tidak punya algoritma, tidak punya paten, dan tidak punya waktu untuk mengejar.
Tanpa kedaulatan teknologi, kedaulatan energi hanyalah fatamorgana.
-000-
Pertanyaan untuk Indonesia:
Apa yang bisa Indonesia pelajari dari revolusi teknologi energi ini?
Pertama, bahwa eksplorasi tanpa inovasi hanya akan menjadikan kita pengebor, bukan pemilik masa depan.
Kedua, bahwa pendidikan dan riset bukan sekadar pelengkap, tapi syarat utama agar kita tidak hanya menggali, tapi juga mengerti.
Teknologi memang membawa efisiensi. Ia mampu menjangkau kedalaman yang tak terjamah, memetakan bumi dengan presisi, dan mempercepat produksi tanpa jeda.
Tapi kemajuan yang tidak disertai keadilan, hanya akan menggantikan ketimpangan lama dengan versi yang lebih sunyi, lebih canggih, dan lebih sulit dilawan.
“Kita bisa mengirim robot ke kedalaman bumi, dan membangun server AI untuk mendeteksi minyak dari luar angkasa.
Tapi pertanyaan paling mendasar tetaplah manusiawi: untuk siapa semua ini, dan dengan harga apa?”***
Jakarta, 20 juli 2025
REFERENSI
1. The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations
(Daniel Yergin, Penguin Press, 2020)
2. Planet of Slums
(Mike Davis, Verso Books, 2006)
-000-
* Penulis adalah seorang dosen, kolumnis, presenter dan Pendiri Lembaga Survey IndoneRatusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, bisnis dan marketing, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World