InfoMigas.id – Jakarta | Pembangunan kilang minyak baru di Indonesia dinilai masih menghadapi hambatan serius, salah satunya karena skema insentif investasi dari pemerintah yang dianggap kurang menarik oleh calon investor. Kondisi ini disoroti oleh Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, yang menyebut insentif yang ada belum mampu mendorong percepatan proyek kilang di dalam negeri.
Menurut Komaidi, investasi proyek kilang membutuhkan modal sangat besar dengan tingkat pengembalian (return) yang relatif kecil. Di sisi lain, sektor hilir migas di Indonesia masih dikendalikan oleh regulasi pemerintah, sehingga harga produk kilang tidak bisa mengikuti mekanisme pasar sepenuhnya.
“Biasanya perusahaan migas membentuk joint venture untuk menekan modal. Tapi mitra akan meminta kompensasi berupa insentif pajak agar proyek lebih ekonomis,” ujar Komaidi saat dihubungi, Kamis (9/10/2025).
Namun, kata dia, sering kali terjadi perbedaan pandangan antara pemerintah dan pelaku usaha terkait bentuk dan besaran insentif yang wajar. Hal ini membuat kesepakatan investasi sulit tercapai.
“Seringkali hal yang rasional secara bisnis belum tentu diterima pemerintah dari sisi target penerimaan negara. Itu yang jadi kendala,” imbuhnya.
Komaidi menilai kondisi tersebut telah menyebabkan sejumlah investor asing memilih mundur dari proyek kilang, seperti yang terjadi pada Saudi Aramco, Kuwait, dan Iran. “Artinya, kesepakatan tidak bisa ditemukan,” tegasnya.
Pertamina Tak Bisa Berdiri Sendiri
Komaidi juga menilai tak realistis jika proyek kilang hanya dibebankan pada PT Pertamina (Persero). Pasalnya, BUMN migas tersebut juga tengah menanggung beban investasi besar di sektor hulu hingga hilir.
“Kalau tidak mau kasih insentif, pemerintah harus alokasikan dana dari APBN. Kalau tidak, berikan fasilitas menarik agar investor masuk,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan kekesalannya atas tersendatnya pembangunan kilang baru oleh Pertamina. Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Selasa (30/9/2025), Purbaya menyoroti tidak adanya pembangunan kilang baru sejak krisis moneter 1998.
“Sejak krisis sampai sekarang tidak ada kilang baru. Pertamina janji bangun tujuh kilang pada 2018, tapi belum terealisasi,” kata Purbaya.
Bahkan, Purbaya mengaku pernah menawarkan kerja sama dengan perusahaan China untuk membangun kilang, namun ditolak oleh Pertamina dengan alasan overkapasitas.
Menanggapi hal tersebut, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia enggan berkomentar lebih jauh. “Saya tidak mau mengomentari pernyataan orang lain. Tugas saya memastikan pengawasan pembangunan kilang berjalan,” katanya.
Pertamina Siapkan RDMP Balikpapan
Di sisi lain, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menyambut positif kritik dari Purbaya. Ia menyatakan proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan dijadwalkan onstream pada November 2025.
“Kami berharap RDMP Balikpapan bisa mengurangi ketergantungan impor BBM tahun depan,” kata Simon.
Proyek tersebut akan meningkatkan kapasitas pengolahan Crude Distillation Unit (CDU) dari 260.000 barel per hari (bph) menjadi 360.000 bph. Dengan demikian, kapasitas nasional diharapkan naik dari 1,17 juta bph menjadi 1,26 juta bph di akhir 2025.
Saat ini, bisnis kilang Pertamina dikelola oleh anak usaha PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), yang mengoperasikan enam kilang utama:
RU II Dumai (170.000 bph),
RU III Plaju (126.000 bph),
RU IV Cilacap (348.000 bph),
RU V Balikpapan (360.000 bph),
RU VI Balongan (150.000 bph), dan
RU VII Kasim (10.000 bph).[*]
*nh/kbc/bloomberg