Oleh: Jalal
Pimpinan Dewan Penasihat – Social Investment Indonesia
CSR bukan sekadar pengembangan masyarakat atau filantropi perusahaan. Penting disadari bahwa tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, disingkat CSR) adalah tanggung jawab perusahaan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, yang bertujuan untuk berkontribusi terhadap pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Menurut ISO 26000, subjek inti tanggung jawab sosial mencakup tata kelola, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, isu konsumen, serta pelibatan dan pengembangan masyarakat. Seluruh subjek inti tersebut harus dikelola secara optimal oleh perusahaan yang bertanggung jawab sosial, dalam situasi apapun, termasuk dan mungkin terutama pada kondisi di mana masyarakat mengalami kesulitan seperti sekarang.
Pengelolaan dampak negatif dan positif. Perusahaan memiliki sejumlah dampak negatif maupun positif terhadap masyarakat dan lingkungan, yang cara pengelolaannya tidaklah sama. Walaupun sebagai awalan perusahaan harus mengetahui secara persis potensi kedua jenis dampak itu lewat analisis dampak yang komprehensif, namun hierarkhi pengelolaannya tidaklah sama.
Dampak negatif, setelah diketahui potensinya, penting untuk terlebih dahulu diupayakan untuk dihindari sekuat mungkin. Kalau memang harus terwujud, maka dampak itu harus diminimalkan, lalu dampak negatif residualnya direstorasi dan dikompensasi.
Pada situasi seperti sekarang, sangat penting bagi perusahaan untuk tidak menambah beban yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Di sisi lain, potensi dampak positif perusahaan sangatlah penting untuk diwujudkan hingga optimal, karena akan sangat bisa membantu masyarakat yang sedang kesulitan. Dalam hal ini, dampak dari industri ekstraktif sangatlah spesifik, sehingga penting untuk menjadi perhatian perusahaan.
Tiga aras dampak: bisnis inti, investasi sosial, dan dialog kebijakan. Sebagaimana yang dijabarkan oleh Nelson, Jenkins dan Gilbert (2015), perusahaan bisa berkontribusi secara positif maupun negatif terhadap pembangunan berkelanjutan melalui tiga aras yang berbeda. Bisnis inti perusahaan, yang mencakup workplace, market place dan supply chains adalah yang paling besar dampaknya.
Oleh karena itu, dalam situasi wabah yang berdampak pada resesi ekonomi sementara, sangatlah penting bagi perusahaan untuk melihat kembali bagaimana dampak bisnis inti ini benar-benar dapat membawa manfaat sebesar- besarnya pada pemangku kepentingan, terutama pemangku kepentingan di tingkat lokal.
Demikian juga, situasi seperti sekarang adalah peluang untuk memikirkan ulang strategi, program, dan projek investasi sosialnya terhadap masyarakat sekitar. Namun, perusahaan juga tak boleh melupakan dampak yang bisa berasal dari dialog kebijakan dengan pemerintah. Bersama-sama dengan pemerintah, termasuk dan terutama pemerintah daerah, perusahaan perlu mengoptimalkan kontribusinya dalam mengubah kebijakan dan regulasi, sesuai dengan konteks lokal yang sedang bersama-sama dihadapi.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sebagai pemandu. Sustainable Development Goals (SDGs) yang diindonesiakan menjadi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah formalisasi dan penajaman untuk pengejawantahanpembangunan berkelanjutan yang disepakati oleh seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa di tahun 2015. Oleh karena itu, ketika CSR dinyatakan bertujuan untuk membantu pencapaian pembangunan berkelanjutan sesungguhnya kini berarti bahwa tujuan CSR adalah berkontribusi pada pencapaian SDGs. Dalam hal ini sangat penting untuk disadari bahwa SDGs mengalami pukulan yang sangat berat karena wabah COVID-19. Bukan hanya pada SDG3, melainkan seluruh Tujuan SDGs merasakan dampak negatif yang besar, sedang, atau belum diketahui besarannya (Sachs, et al., 2020) yang mungkin baru akan diketahui secara lebih jelas di tahun ini. Karena itu, perusahaan- perusahaan—bersama-samadengan pemangku kepentingan lainnya—sangat penting untuk melihat pada Tujuan SDGs mana saja kemunduran terbesar terjadi di wilayah operasinya, lalu menyusun strategi untuk bisa memulihkan kondisinya, mengembalikan ke jalur pencapaian, sehingga di tahun 2030 kelak bisa benar-benar tercapai.
Pengutamaan kelompok rentan. Walaupun sebagian besar dari masyarakat mengalami dampak negatif akibat wabah dan resesi ekonomi yang mengikutinya, namun kelompok-kelompok rentan jelas adalah yang paling menderita akibat kondisi sekarang. Dalam situasi ‘normal’ sekalipun, salah satu ekspektasi atas CSR sesungguhnya adalah perhatian kepada kelompok rentan (ISO, 2010), apalagi dalam situasi seperti sekarang. Kelompok-kelompok rentan adalah mereka yang digambarkan hidup dengan air yang sudah berada di ketinggian leher mereka, sehingga naiknya permukaan air sedikit saja akan membahayakan hidup mereka (Scott, 1985). Perusahaan, karenanya, perlu memerhatikan mana saja kelompok masyarakat di wilayah operasinya yang mengalami kerentanan struktural, kultural ma upun personal. Pemanfaatan data kelompok miskin yang telah dimiliki oleh pemerintah daerah perlu diperkaya dengan hasil pemetaan pemangku kepentingan, juga dialog dengan masyarakat setempat untuk mengidentifikasi. Jelas, wabah dan resesi ekonomi—yang merupakan perwujudan naiknya permukaan air dalam perumpamaan James Scott—akan menambah jumlah mereka yang masuk ke dalam kelompok rentah, dan perusahaan—bersama-sama dengan aktor pembangunan lain—perlu untuk mengutamakan penyelamatan mereka.
Perhatian kepada konteks kerentanan. Kerentanan bisa datang dari shocks, trends dan seasonality, sebagaimana yang dinyatakan dalam Sustainable Livelihoods Approach atau SLA (DFID, 1997). Wabah COVID-19 secara mudah bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk shocks. Namun, pemikiran yang lebih mendalam bisa juga menempatkannya ke dalam trends. COVID-19 adalah wabah zoonotic, yang penyebabnya melompat dari hewan ke manusia (FAO, 2020; WHO, 2021). Hal ini terjadi lantaran manusia melakukan pembukaan habitat-habitat hewan liar di seluruh dunia untuk kepentingan pertanian, pembangunan infrastuktur, dan lainnya. Wabah ini sama sekali bukan tidak teramalkan, melainkan teramalkan namun tidak diperhatikan. Wabah ini bukanlah masuk ke dalam kategori Angsa Hitam (Taleb, 2010), melainkan Badak Abu-abu (Wucker, 2016). Konsekuensinya, perusahaan sangatlah penting untuk memerhatikan sifat shocks dan trends sekaligus dari wabah ini. Juga, perusahaan penting untuk melihat kemungkinan datangnya sumber-sumber kerentanan lain dengan ketiga konteks itu. Bayangkan, kalau dalam kondisi seperti ini kemudian datang, misalnya, kebakaran hutan (trends) atau banjir/kekeringan (seasonality) atau jatuhnya harga produk pertanian (shocks), maka kelompok-kelompok rentan itu semakin membutuhkan perhatian.
Perhatian kepada kondisi Five Capitals. Pesan penting dalam SLA (DFID, 1997) adalah bahwa manusia dan masyarakat sesungguhnya tidak hidup hanya dari satu jenis kapital saja. Dibutuhkan lima jenis kapital yang akan membuat manusia ada dalam kondisi yang baik—kini dinyatakan sebagai sejahtera, tangguh, dan berkelanjutan (Josephdan McGregor, 2020)—yaitu finansial, infrastruktur, insani, sosial, dan natural.
Karenanya, pembangunan sangatlah penting untuk memastikan ketersediaan seluruh jenis kapital itu dengan memadai. Kondisi tidak sejahtera, tangguh dan berkelanjutan bisa datang dari kurangnya salah satuatau lebih kapital itu. Perusahaan yang benar-benar ingin berkontribusi bagi pembangunan daerah perlu untuk mengetahui kondisi kapital tersebut di antara kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi kelompok sasaran investasi sosialnya, dan/atau kondisi masyarakat secara umum. Pengetahuan ini akan sangat bermanfaat untuk bisa membangun kembali daerah yang mengalami penurunan kesejahteraan, ketangguhandan keberlanjutan akibat wabah dan resesi ekonomi yang mengikutinya.
Pentingnya melakukan riset sosial. Dengan kebutuhan untuk mengetahui dampak wabah secara umum, dampaknya terhadap pencapaian SDGs, dampak terhadap kelompok rentan, dan kondisi five capitals di masyarakat, maka sangatlah penting untuk kembali melakukan riset sosial dengan metodologi yang kokoh. Wabah COVID-19 telah banyak sekali mengubah kondisi masyarakat, sehingga strategi lama yang dipergunakan sangat besar kemungkinannya tidaklah bisa dimanfaatkan secara optimal. Karena strategi berisikan ke mana tujuan kita, di mana kita sekarang, dan bagaimana cara kita sampai kepada tujuan, maka kondisi sekarang sangatlah penting untuk diketahui. Mengandalkan informasi yang buruk atau ketiadaan informasi adalah alasan terpenting dari kegagalan perencanaan, yang bisa menyebabkan munculnya strategi yang tidak realistik (Olsen, 2011). Oleh karena itu, apabila perusahaan bersungguh- sungguh ingin berkontribusi bagi pemulihan ekonomi (juga sosial dan lingkungan) daerah pasca-COVID- 19, riset sosial sangatlah penting dilakukan sekarang, sebagai bagian dari pembuatan strategi CSR yang baru.
Strategi jangka pendek, menengah, panjang atau respond, recover, rebuild better. Dampak COVID-19 perlu diatasi dengan strategi berjangka pendek (respond), menengah (recover) dan panjang (rebuild better), sebagaimana yang disarankan oleh Torres-Rahman dan Nelson (2020). Banyakperusahaan sudah melakukan tindakan-tindakan jangka pendeknya, yang sangat mungkin tidak membutuhkan strategi— mungkin hanya taktik—kecuali bagi perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki protokol penanganan krisis. Tetapi, penangananjangka pendek ini, walaupun sangat penting, tidak akan bisa membawa pada pemulihan, yang merupakan ranah strategi jangka menengah. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah apakah perusahaan hanya akan berhenti di situ, mengingat kesejahteraan, ketangguhan, dan keberlanjutan masyarakat sesungguhnya berada dalam ranah jangka panjang? Wabah ini adalah dampak dari pembangunan yang tidak berkelanjutan, sehingga perusahaan-perusahaan perlu untuk benar-benar mengubah dirinya menjadi berada di jalur keberlanjutan yang tepat. Untuk perusahaan-perusahaan ekstraktif di bidang energi, salah satu hal terpentingnya adalah melakukan transisi menjadi perusahaan energi terbarukan. Kaitan antara wabah COVID-19 dengan perubahan iklim memang tak banyak dijetahui oleh publik (van Wijk, dkk., 2020) namun sains telah mengidentifikasikan hubungan itu, dan perusahaan- perusahaan ekstraktif sangat perlu untuk memelajarinya sebagai masukan untuk penyusunan strategi jangka panjangnya.
Penyelamatan live, livelihoods, dan learning. Torres-Rahman dan Nelson (2020) telah menyusun kerangka yang kokoh terkait bagaimana perusahaan dapat berkontribusi dalam tanggap darurat, pemulihan dan pembangunan kembali yang lebih baik terkait wabah ini. Kerangka tersebut juga telah diterjemahkan khusus untuk industri pertambangan melalui kerjasama antara The Partnering Initiative dengan ICMM (Prescott, dkk., 2020). Dalam kedua dokumen jelas ditunjukkan bahwa baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang, tindakan yang perlu diambil itu mencakup kesehatan dan keamanan (live), kerja dan pendapatan (livelihoods) serta pendidikan dan keterampilan (learning). Kebanyakan perusahaan agaknya berkonsentrasi hanya di ranah live dalam jangka pendek, namun sesungguhnya keseluruhannya sangat perlu untuk dikelola dengan memadai. Sesungguhnya dalam waktu yang tak terlalu lama lagi, dampak dari Revolusi Industri 4.0 sudah akan tiba, dan akan memengaruhi
livelihoods dengan sangat kuat. Untuk bisa mengantisipasinya, perusahaan—bersama-sama aktor pembangunan lainnya—sangat perlu memerhatikan learning sebagai persiapan transformasi ketenagakerjaan. Jadi, sekarang bukan saja disrupsi cara belajar lantaran kesulitan tatap muka yang perlu diurus, melainkan juga persiapan menghadapi disrupsi yang lebih besar lagi.
Kemitraan adalah keniscayaan. SDGs menekakan bahwa empat tujuan ekonomi, delapan tujuan sosial dan empat tujuan lingkungan tak akan bisa dicapai tanpa kemitraan. Artinya, tujuan CSR itu meniscayakan kemitraan untuk dicapai. Oleh karena itu, sangat penting bagi perusahaan-perusahaan ekstraktif untuk melihat kembali prinsip-prinsip kemitraan—kesetaraan, transparensi, manfaat bersama (TPI, 2011)—dan menegakkannya. Hingga sekarang, masih banyak kegiatan, projek dan program yang menggunakan kata ‘kemitraan’ namun sesungguhnya tidak benar-benar menegakkan prinsip-prinsipnya. Dengan magnitudo dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi sekarang, mustahil satu organisasi (termasuk perusahaan), satu grup, atau satu sektor bisa menghasilkan perubahan yang diinginkan tanpa kemitraan. Lagi pula, CSR yang salah satu prinsipnya adalah penghormatan pada pemangku kepentingan memang mustahil dilakukan sendirian. Maka, pemangku-pemangku kepentingan tertentu—termasuk namun tidak terbatas pada pemerintah daerah, LSM, dan masyarakat setempat—yang memiliki tujuan bersama dengan perusahaan, sangat penting untuk ditimbang sebagai calon mitra.
Penegakan inklusivitas. Sama dengan kemitraan, inklusivitas adalah sebuah keniscayaan apabila suatu persoalan hendak diselesaikan dengan komprehensif. Dalam penanganan COVID-19, Torres-Rahman dan Nelson (2020) dengan tegas memasukkan inklusivitas gender, mengingat perempuan adalah kelompok yang menanggung risiko secara disproporsional. Data di beberapa negara, misalnya, menunjukkan peningkatan kekerasan terhadap kelompok perempuan dalam masa pembatasan ruang gerak masyarakat. Namun, bukan saja karena kerentanan maka perempuan perlu diinklusikan di dalam perencanaan, pelaksanaan, monev, serta penerimaan manfaat; melainkan karena perspektif mereka memang sangat penting untuk dipertimbangkan dan diwujudkan dalam penyelesaian masalah kemanusiaan apapun. Mereka adalah separuh dari populasi. Inklusivitas juga mencakup memastikan masuknya perspektif anak-anak, orang tua, kelompok difabel, penganut agama dan suku minoritas, dan lain-lain. Inklusivitas adalah kekuatan yang penting untuk dimanfaatkan dan disyukuri.
Monitoring dan evaluasi bersama dengan pemangku kepentingan. Mengupayakanpemulihan ekonomi (juga sosial dan lingkungan) daerah adalah sebuah perjalanan bersama, di mana seluruh pihak menanggung risiko dan memiliki potensi untuk meraup peluang perbaikan bersama. Ini bukanlah eksekusi rencana kelangsungan bisnis perusahaan semata, melainkan keberlanjutan yang hakiki. Oleh karena itu, strategi yang dibuat perlu dipastikan mengandung ukuran-ukuran proses dan kinerja yang bisa terus- menerus dicek untuk memastikan bahwa seluruh pihak memang memang sedang menuju arah yang diinginkan bersama. Ukuran-ukuran tersebut sebaiknya dibuat bersama-sama dengan pemangku kepentingan dan tersedia di ruang publik, sehingga seluruh pemangku kepentingan bisa melihatnya, memelajarinya, dan terlibat secara aktif di dalam monitoring dan evaluasi. Namun demikian, untuk bisa mengetahui kemajuan yang diperoleh secara lebih objektif, perusahaan perlu juga untuk menimbang monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen dan kapabel.
Komunikasi, komunikasi, komunikasi. Komunikasi adalah prasyarat pembinaan hubungan yang bermakna (AccountAbility, 2015), sehingga dia sangat penting untuk dilaksanakan sejak awal. Tanpa komunikasi yang memadai, beragam pemangku kepentingan tak akan bisa secara optimal memberikan masukan kepada perusahaan terkait rencana, eksekusi, maupun monev CSR-nya. Tanpa komunikasi juga pemangku kepentingan tidak akan pernah bisa di-engage dalam pembinaan hubungan dalam level dan bentuk yang tepat. Partisipasi masyarakat (dan pemangku kepentingan lainnya), yang tidak didahului
komunikasi yang memadai, akan selalu ada di level bukan partisipasi atau tokenisme belaka (Arnstein, 1969). Dengan demikian, komunikasi selalu diperlukan di setiap tahapan CSR yang bertujuan apapun, termasuk untuk pemulihan ekonomi daerah. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari komunikasi dengan masyarakat lewat medium yang tradisional, pemanfaatan pertemuan-pertemuan, media sosial, hingga laporan keberlanjutan yang komprehensif. Agaknya, laporan keberlanjutan tahun 2020 yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan—termasuk dalam industri ekstraktif—akan sangat dikritisi pada bagian yang terkait dengan bagaimana perusahaan mengelola dampak COVID-19 terhadap pekerjanya maupun pemangku kepentingan lain. Laporan keberlanjutan tahun 2021-pun jelas masih akan demikian, sehingga perusahaan perlu untuk memersiapkannya dengan baik, yang menggambarkan apa yang benar- benar perusahaan lakukan.
Demikianlah beberapa butir pemikiran yang dapat saya sampaikan terkait dengan bagaimana perusahaan bisa secara optimal berkontribusi bukan saja pada pemulihan—melainkan juga pembangunan kembali yang lebih baik—ekonomi, juga sosial dan lingkungan daerah, agar daerah bisa benar-benar mencapai kondisi yang sejahtera, tangguh, dan berkelanjutan.
Sumber : socialinvertement.id