EDITORIAL
Kisah migas di Aceh Utara menyeruak sejak akhir tahun 1960-han yang lalu. Kala penemuan cadangan gas di Ladang Gas Arun diumumkan, rakyat Aceh mulai menyemai mimpi. Mimpi akan tibanya kemakmuran ekonomi dan kehidupan yang lebih baik. Harapan putra putri mereka akan berkiprah dan mendapatkan pekerjaan di perusahaan energi, disemai sehingga mereka tidak keberatan bila kebun, sawah dan rumah diganti rugi.
Warga yang terkena dalam program Proyek Vital Nasional (Provitnas) rela diarahkan untuk melakukan ‘bedol deso’ atau pindah kampung secara massal. Kampung halaman yang sudah dihuni secara turun temurun, mereka relakan untuk dijadikan area ekploitasi dan eksplorasi. Masyarakat pindah ke kawasan pedalaman, ke perkampungan baru yang yang khusus disiapkan untuk mereka yang terkena gusuran. Bahkan, demi kelancaran proyek tersebut, mereka rela menggali dan memindahkan kuburan keluarga, sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh masyarakat di Aceh.
Agar dapat menjadi bagian dari proyek itu, orang tua ramai ramai mengarahkan anak anak untuk bersekolah pada jurusan teknik. Sekolah Teknik Mesin (STM) dan fakultas Tehnik menjadi pilihan.
Seiring perjalanan waktu, harapan dan mimpi yang disemai, mulai dihapus. Mereka mulai menyadari bahwa Provitnas itu tidak memberikan penghidupan yang lebih baik untuk mereka. Provitnas bukan lagi harapan karena sangat sedikit memakai anak anak lingkungan sebagai pekerja. Praktis, anak anak muda disekitar proyek ladang gas hanya menjadi penonton. Menjadi tamu dirumah mereka sendiri.
Selanjutnya, sebuah kesadaran barupun muncul, yaitu kehadiran industri migas ternyata ‘sebuah kutukan’. Industri itu telah mengundang kekerasan dan pelanggaran HAM bagi warga lingkungan. Disisi lain, kemiskinan di sekitar lingkungan perusahaan begitu nyata.
Kesadaran itu muncul ketika cadangan migas mulai menipis dan perusahaan operator milik negara asing segara akan hengkang.
Lebih dari 50 tahun setelah mimpi awal disemai, warga lingkungan memulai kembali merajut mimpi, walaupun tidak seindah mimpi pada akhir tahun 60-han. Mimpi itu muncul pada awal tahun 2020-han, ketika PT Pema Global Energi (PGE) selaku Kontraktor Kerja (KKKS) menyerahkan 10% saham Participating Interest (PI) kepada PT Pase Energi NSP.
PGE yang merupakan anak usaha dari PT Pembangunan Aceh (PEMA), menyerahkan saham PI kepada PT Pase Energi NSB, anak usaha perusahaan PT. Pase Energi Migas. Perusahaan pemberi merupakan BUMD milik Pemerintah Aceh, sedangkan perusahaan penerima saham merupakan BUMD milik pemerintah Kabupaten Aceh Utara.
Kepemilikan saham oleh PT Pase Energi NSB diberikan untuk Wilayah Kerja (WK) Blok B, yang berada di kawasan sejumlah kecamatan, seperti Syamtalira Aron, Tanah Luas dan Matang Kuli.
Para angkatan kerja di Aceh Utara dan warga lingkungan di kecamatan penghasil kembali berharap. Kembali bermimpi akan mendapatkan pekerjaan dan ambil bagian dalam industri ini. Para warga kecamatan penghasil berharap akan adanya perbaikan sarana dan prasarana publik di lingkungan mereka.
Tetapi, hingga kini harapan itu belum terwujud. Mimpi masih tak berujung karena kemakmuran yang diharap belum sesuai harapan.
Untuk mewujudkan secuil keinginan rakyat yang sudah terlanjur diharapkan tersebut, dibutuhkan keberanian untuk jujur.
Kini, sudah saatnya untuk mengubah ‘Kutukan Migas’, menjadi ‘Rahmad Migas’. Sudah saatnya untuk mengoreksi kesalahan masa lalu.
Sudah waktunya untuk memperbaiki kekeliruan pada waktu yang sudah berlalu agar tidak lagi terulang.
Sudah tiba masanya bagi pemangku kepentingan dan pihak otoritas untuk menjalankan prinsip dasar pengelolaan Participating Interest, yaitu transparansi. [*]