Dalam sebuah pelatihan di Takengon, Aceh Tengah, beberapa waktu lalu, ada sebuah pertanyaan yang diajukan seorang narasumber dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Apakah isu tentang minyak dan gas seksi atau tidak? Liputan tentang migas menarik atau tidak?
Peserta pelatihan adalah para jurnalis di Aceh, baik yang berasal dari penghasil minyak dan gas seperti Aceh Timur, Aceh Utara, dan Lhokseumawe, juga berasal dari daerah yang tidak memiliki hasil bumi migas seperti Kota Banda Aceh.
Pertimbangannya, media massa di Aceh, baik cetak maupun elektronik termasuk online, memiliki kantor pusat di Banda Aceh. Editor juga penting memahami tentang industry migas.
Nah, bagaimana dengan pertanyaan di atas? Jangan buru-buru menjawab. Mari kita kita gali data dan membari fakta, apakah berita tentang migas lebih menarik bagi konsumen media massa di Indonesia, bahkan dunia, dibandingkan dengan isu-isu lainnya.
Tidak perlu riset mendalam, cukup melihat jumlah pembaca sebuah berita tentang migas dan membandingkannya dengan pembaca berita infotainmen, misalnya berita artis ini bercerai dengan artis itu. Padahal ini adalah berita sampah yang tidak berpengaruh terhadap kualitas kehidupan kita, atau tidak mencerdaskan sama sekali.
Kesimpulan pertama, berita yang dibutuhkan dan berita yang mencerdaskan tidak selalu memiliki rating tinggi. Pembaca lebih senang dengan berita remeh-temeh yang tidak bisa mereka jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil sebuah keputusan penting dalam karier, dalam bisnis, dalam hubungan sosial, mungkin dalam segala hal.
Pelajaran pertama bagi jurnalis, silakan menulis berita yang paling dibutuhkan dan paling bermakna bagi masyarakat luas. Tapi jangan berharap banyak orang yang akan membacanya. Yang penting belum tentu menghibur.
Mengingat pentingnya pengetahuan wartawan tentang isu-isu migas, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe, beberapa kali menggelar pelatihan tentang transisi energi serta isu-isu lainnya, termasuk soal etika.
Saat ini sedang santer tentang energi terbarukan. Masyarakat sudah saatnya meninggalkan energi fosil yang terbatas sumber dayanya. Energi fosil juga dianggap tidak ramah lingkungan, berbiaya besar, tidak efisien, berdampak terhadap kesehatan, dan sebagainya.
Pemateri menyampaikan sejumlah kerugian dan kelemahan jika dunia terus bergantung terhadap energi fosil yan sumbernya kian terbatas.
Namun, transisi energi ini belum berlangsung dengan lancar karena berbagai hal. Berdasarkan pemaparan para narasumber, beberapa hambatan dalam transisi energi terbarukan adalah biaya awal yang tinggi, masih tingginya ketergantungan kepada energi fosil, kebijakan pemerintah yang belum mendukung dan diduga ada pengaruh dari investor migas, dampak sosial dan ekonomi, masalah teknologi, sampai masalah ketenagakerjaan.
Wawasan ini penting bagi jurnalis untuk mempercepat transisi energi terbarukan. Senang atau tidak, pada akhirnya semua pihak harus memilih energi yang lebih murah, mudah, efektif dan efisien, serta ramah lingkungan.
Pengetahuan jurnalis ini bisa ditranformasikan kepada masyarakat luas. Jadi, isu tentang migas ini memang tidak seksi sehingga tidak menarik minat pembaca. Namun, isu migas penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Isu yang dicari konsumen media belum tentu penting dan isu penting belum tentu dicari konsumen.[]