InfoMigas.id – Jakarta |Dominasi PT Pertamina (Persero) di industri hilir migas dinilai menekan minat investasi pemodal asing untuk masuk ke proyek kilang Indonesia, sehingga berisiko akan mempersulit upaya pemerintah membangun swasembada energi dan menekan impor.
BMI, Lembaga riset Fitch Solutions di bawah Fitch Group, mengatakan pangsa pasar dari permintaan bahan bakar di negara ini sebenarnya sangat besar. Per 2023, total konsumsi BBM nasional mencapai 505 juta barel per tahun.
“Meskipun pasar bahan bakar domestik Indonesia besar, minat investor asing masih terbatas, karena dominasi perusahaan milik negara dan subsidi bahan bakar yang berkelanjutan,” papar tim riset BMI dalam catatannya yang dikutip Selasa (2/9/2025).
“Akibatnya, penambahan kapasitas dari program RDMP (Refinery Development Master Plan) dan GRR [grassroots refinery] diperkirakan tetap terbatas.”
Di sisi lain, BMI menilai rencana peningkatan kapasitas kilang di Indonesia secara agregat mungkin bakal menghadapi penundaan yang signifikan, dengan kemajuan yang bergantung pada kinerja keuangan Pertamina.
Pada 2014, pemerintah meluncurkan dua program utama untuk sektor hilir migas, yaitu; RDMP Balikpapan dan dan proyek GRR di Kilang Tuban. Keduanya bertujuan untuk memperluas kapasitas kilang dan meningkatkan fasilitas yang ada.
RDMP mencakup kilang Dumai, Plaju, Cilacap, Balongan, dan Balikpapan. Namun, menurut BMI, kemajuannya lambat karena keterbatasan modal dan kurangnya minat dari investor asing.
Meskipun RDMP dan GRR awalnya dirancang untuk implementasi bersama antara Pertamina dan mitra asing, lanjut BMI, hengkangnya investor seperti Saudi Aramco telah membuat Pertamina menanggung sendiri beban investasi.
Di sisi lain, Pertamina telah melaporkan penurunan pendapatan dan laba bersih selama dua tahun berturut-turut sejak 2022, yang membatasi kemampuannya untuk memenuhi permintaan modal yang bersaing dari sektor penyulingan, gas alam, dan energi terbarukan.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas kilang RI tetap tidak berubah di angka 1,16 juta bph antara 2019—2024, yang menggarisbawahi ketertinggalan pertumbuhan permintaan bahan bakar.
Sebagian besar belanja modal atau capital expenditure (capex) difokuskan pada peningkatan bahan bakar, proyek konversi, dan produksi biofuel.
Bagaimanapun, Pertamina tetap berkomitmen untuk memperluas kapasitas kilang dan proyek ekspansi, meskipun belum pasti apakah kapasitas penyulingan Indonesia secara keseluruhan akan meningkat secara signifikan setelah 2026.
BMI mencatat Pertamina telah mengalokasikan US$8,3 miliar untuk capex industri penyulingan dan petrokimia antara 2025 hingga 2029.
Saat ini, lima kilang sedang dalam berbagai tahap investasi dalam RDMP. Pertamina telah menyelesaikan beberapa proyek peningkatan di Cilacap, sementara proyek RDMP Balikpapan hampir selesai.
Peningkatan signifikan belum selesai di tiga kilang lainnya.
Namun, Pertamina sedang melanjutkan proyek kilang Balongan Tahap I dan II, dengan tahap pertama memberikan peningkatan kapasitas yang moderat sebesar 25.000 bph. Prospek untuk melanjutkan Tahap II dan III masih belum pasti.
Pertamina juga telah mendapatkan investasi substansial sebesar US$22 miliar dari CPC Taiwan untuk Tahap III, yang akan menambah kapasitas sebesar 90.000 bph. Namun, penyelesaian tahap kedua dan ketiga telah ditunda hingga 2027.
Pada Mei 2020, Pertamina mengumumkan nota kesepahaman (MoU) dengan PT Nindya Karya, dan konsorsium Korea Selatan yang dipimpin oleh DH Global untuk mempelajari kelayakan perluasan kilang Dumai sebesar 200.000 bph (CDU), dengan target penyelesaian pada 2030.
Selain itu, Pertamina dilaporkan telah menyelesaikan peningkatan pabrik pemisah kondensat Trans-Pacific Petrochemical Indotama di Tuban, Jawa Timur, terutama untuk meningkatkan produksi bensin domestik.
Meskipun telah mencapai kemajuan dalam RDMP, upayanya untuk menerapkan GRR di Tuban terhambat oleh sanksi Barat terhadap Rosneft, mitra usaha patungan Pertamina dari Rusia dalam proyek Kilang Tuban dan petrokimia terintegrasi greenfield berkapasitas 300.000 bph yang direncanakan.
“Tanpa mitra baru, Indonesia akan terus menghadapi tantangan keuangan dalam melaksanakan proyek Kilang Tuban, yang kemungkinan besar tidak akan terealisasi sebelum akhir dekade ini,” papar BMI.
Kilang Biofuel
Di lain sisi, Pertamina juga mulai beralih ke proyek produksi bahan bakar berbasis bio, yang membutuhkan lebih sedikit modal dan bahan baku impor.
Kilang-kilangnya juga berupaya memproduksi bahan bakar hijau dari minyak sawit lokal dan minyak goreng bekas (UCO) atau jelantah untuk mendukung program energi baru terbarukan (EBT) pemerintah.
Pertamina menyelesaikan proyek biofuel skala kecil di kilang Cilacap pada 2022 dan berencana untuk mengoperasikan kilang lainnya pada 2026.
Kilang pertama menggunakan bahan baku berbasis minyak sawit, sementara kilang kedua dirancang untuk memproses UCO menjadi minyak nabati terhidrolisis untuk dicampur dengan solar dan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF).
Pertamina menargetkan untuk memulai produksi SAF di Cilacap pada akhir 2025, dengan rencana untuk memperluas kapasitas SAF di kilang Plaju dan Dumai.
“Insentif telah tersedia untuk meningkatkan produksi biodiesel dan SAF domestik, mengingat pasokan minyak sawit Indonesia yang melimpah, asalkan hal ini tidak mengorbankan produksi minyak goreng, yang sangat penting bagi ketahanan pangan,” papar BMI.
Menurut lembaga riset itu, proyek biofuel di kilang Pertamina melengkapi produksi bahan bakar kilang dan meningkatkan pasokan domestik.

Apalagi, pemerintah berencana untuk meningkatkan tingkat pencampuran biodiesel dari 40% pada 2025 menjadi 50% pada 2026, sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar.
“Namun, langkah ini dapat mengurangi kebutuhan untuk berinvestasi di kilang baru,” tegas BMI.
Isu kesulitan investasi untuk mendanai proyek ekspansi kilang di Indonesia sebelumnya juga diakui oleh PT Pertamina Kilang Internasional (KPI).
Perseroan tidak menampik hal tersebut juga menjadi salah satu penyebab penerapan standar emisi Euro 4 (E4) di Indonesia berjalan lambat akibat sulitnya pendanaan kilang untuk memproduksi bahan bakar minyak (BBM) rendah sulfur.
Analis Senior III Perencanaan Strategis RDMP Pertamina Kilang Internasional Yesay Setiawan tidak menampik perseroan memang tertantang, dari sisi pendanaan hingga bentuk kerja sama, dalam memproduksi BBM berkualifikasi kontaminan 50 parts per million (ppm).
“Sampai saat ini sebenarnya pendanaan itu juga masih menantang buat kami. Dari sisi pendanaan, memang kita ada beberapa skenario sebenarnya. Skenario full equity, strategic partner, debt, dan debt equity,” ujar Yesay dalam diskusi Analisis Dampak Kebijakan Pengetatan Standar Kualitas BBM yang digelar IESR, akhir November tahun lalu.
Menurut Yesay, perusahaan juga membandingkan rasio keuangan Pertamina sebagai holding dan KPI sebagai subholding secara entitas. Di sisi lain, ketika hendak berutang kepada lembaga keuangan, KPI juga harus memperhatikan rasio keuangannya sendiri.
“Kalau rasio kita merah, mereka [perbankan] juga enggak mau memberi pinjaman ke kita. Salah satu [opsi pendanaan lainnya] adalah penyertaan modal negara [PMN] melalui KPI ke subholding. Itu juga merupakan salah satu jalan keluar juga sih sebenarnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia menyebut investasi yang dibutuhkan untuk empat kilang Pertamina yang dirancang bisa menghasilkan BBM standar Euro 4 diperkirakan mencapai sekitar US$2 milair—US$3 miliar.
“Kalau investasi, disclaimer, sekitar US$2 miliar—US$3 miliar. Harga akhir [BBM Euro 4] di konsumen kita mau cari formulasinya, kompensasi harganya; seperti skenario Rp200—Rp500 per liter, range-nya segitu,” ujarnya.
Yesay tidak menampik, secara umum, standar kilang minyak di Indonesia masih menggunakan Euro 2 karena regulasi yang mengatur bahan bakar untuk dijual di dalam negeri belum ketat.
Hingga saat ini, KPI pun masih mempersiapkan sejumlah kilang yang nantinya bisa memproduksi BBM Euro 4, melalui pengembangan diesel hydrotreating (DHT) untuk menghasilkan solar rendah sulfur dan gasoline sulphur hydrotreater (GSH) untuk memproduksi bensin rendah sulfur.
Kilang-kilang yang akan dilengkapi dengan fasilitas DHT antara lain Kilang Balikpapan dan Cilacap, sedangkan yang akan menggunakan GSH adalah Kilang Plaju dan Balongan.
“Di Balikpapan juga ada 2 DHT besar-besar [dengan kapasitas] 150 million barrel stream per day [MBSD] sehari. Jadi mudah-mudahan pada 2025—2026 ini bisa online,” kata Yesay.[*]
*bloombergtechnoz.com