InfoMigas.id-Jakarta | Praktisi senior industri migas, Hadi Ismoyo, memperkirakan biaya eksplorasi hingga eksploitasi Blok Migas Natuna D-Alpha dapat mencapai angka fantastis, yakni US$30 hingga US$40 miliar atau sekitar Rp666 triliun, berdasarkan asumsi kurs saat ini. Proyeksi ini muncul karena kandungan karbon dioksida (CO2) dalam gas di blok tersebut tercatat sangat tinggi, antara 45% hingga 72%, yang akan meningkatkan biaya pengembangan proyek.
Menurut Hadi, yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana, meski pemisahan CO2 dari gas bumi merupakan proses umum dalam eksploitasi gas, tingginya kadar CO2 di Natuna D-Alpha akan memerlukan teknologi dan investasi lebih besar, apalagi proyek ini akan dilakukan di wilayah lepas pantai.
“Pemisahan CO2 yang mencapai 70% akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Proses ini termasuk dalam pengembangan dengan injeksi CO2 sesuai dengan Protokol Paris, yang pastinya memerlukan biaya tambahan,” jelas Hadi dalam wawancara dengan InfoMigas.id pada Jumat (5/12/2025).
Blok Natuna D-Alpha, yang terletak di Laut Natuna Utara, memiliki potensi besar dengan cadangan gas sekitar 222 triliun kaki kubik (TCF). Namun, karena kandungan CO2 yang tinggi, gas yang dapat dieksploitasi hanya sekitar 46 TCF, membuat biaya dan teknologi yang diperlukan semakin meningkat.
Keterlibatan Shell dalam Proyek Natuna D-Alpha Dipertanyakan
Sementara itu, kabar mengenai kolaborasi antara Kuwait Foreign Petroleum Exploration Company (Kufpec) dan Shell Plc. untuk menggarap blok Natuna D-Alpha mulai mendapatkan perhatian. Hadi Ismoyo pun memberikan pandangannya terkait keterlibatan Shell, mengingat rekam jejak perusahaan minyak dan gas multinasional tersebut di Indonesia yang dinilai kurang sukses.
“Shell di Indonesia memiliki sejarah yang kurang mulus di industri hulu migas. Saya mendorong Kufpec untuk benar-benar mengkaji rencana kerja sama dengan Shell, jangan sampai kejadian serupa dengan proyek Masela terulang kembali,” tegas Hadi.
Proyek gas Natuna D-Alpha sendiri telah menjadi proyek strategis yang mangkrak selama lebih dari 50 tahun sejak pertama kali ditemukan pada 1973. Proyek ini, yang juga bersinggungan langsung dengan Laut China Selatan (LCS), mengalami beberapa kali penundaan dan permasalahan hukum terkait pengembangan gas alam.
Pada 2024, Kufpec mulai melakukan studi bersama (joint study) untuk menilai potensi blok ini setelah PT Pertamina Hulu Energi (PHE) mengembalikan blok tersebut kepada pemerintah. Setelah studi selesai, Kufpec pun berencana untuk menggandeng kontraktor-kontraktor yang tertarik dalam proyek ini, dengan beberapa nama besar seperti PHE dan PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC) sempat dihubungi.
Namun, Hilmi Panigoro, bos MEDC, menegaskan bahwa perusahaannya tidak akan terlibat dalam proyek ini. “Kami tidak ikut,” ujarnya saat ditemui di acara IPA Convex pada Mei 2025.
Potensi dan Tantangan Ekplorasi Natuna D-Alpha
Selain gas, Blok Natuna D-Alpha juga diperkirakan mengandung minyak sekitar 2,865 juta barel (MMBO), meskipun sebagian besar potensi energi terletak pada gas alamnya. Dengan kondisi kandungan CO2 yang tinggi, pengembangan blok tersebut menjadi tantangan besar, terutama dari sisi teknologi dan biaya.
Seiring dengan pembicaraan yang terus berlanjut antara Kufpec dan Shell, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia turut mencatatkan Blok Natuna D-Alpha dalam daftar lelang wilayah kerja (WK) migas untuk tahun depan. Namun, kepastian terkait siapa yang akan membentuk konsorsium pengelola blok tersebut masih menunggu keputusan akhir dari Kufpec.
Sumber yang dekat dengan perkembangan proyek ini mengatakan, meski diskusi mengenai potensi kerja sama dengan Shell terus berlangsung, PHE dilaporkan telah mundur dari partisipasi dalam proyek tersebut.
Proyek ini merupakan salah satu megaproyek yang dinilai vital untuk kebutuhan energi masa depan Indonesia, namun pengembangannya memerlukan pertimbangan matang dan perencanaan yang cermat untuk menghadapi tantangan teknis dan biaya yang sangat besar.
Masa Depan Natuna D-Alpha dan Keterlibatan Shell
Sebelumnya, Shell terlibat dalam proyek hulu migas besar di Indonesia, seperti Blok Masela di wilayah Tanimbar, Maluku. Namun, proyek Masela juga menuai kontroversi, terutama setelah Shell memutuskan untuk menarik diri pada 2020 dan menjual sebagian hak partisipasinya kepada Inpex. Keputusan Shell untuk keluar dari proyek tersebut menambah ketidakpastian mengenai kelanjutan pengembangan lapangan gas Abadi, yang diperkirakan memiliki cadangan gas sekitar 360 miliar meter kubik.
Pihak ESDM pun tidak segan-segan menunjukkan ketidakpuasan terhadap keputusan Shell di Blok Masela, yang dinilai menghambat perkembangan proyek energi strategis Indonesia.
Keterlibatan Shell dalam pengembangan Natuna D-Alpha akan terus dipantau, karena potensi gas raksasa yang tersimpan di dalamnya bisa menjadi penentu ketahanan energi Indonesia di masa depan.[*]
*bloomberg