OPINI – M ZULKIFLI
Investasi besar dalam teknologi hijau, transisi ke energi terbarukan, dan restrukturisasi bisnis menjadi hal yang kompleks. Namun, ada peluang besar untuk menjadi pemimpin dalam transisi energi berkelanjutan.
Perusahaan-perusahaan migas di seluruh dunia berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) seiring dengan meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim. Istilah Net Zero telah bergeser dari sekedar kata dalam ilmu physical climate menjadi diskusi dalam sosial, politik, dan ekonomi (Fankhauser, 2022).
Meskipun sektor ini mengalami periode yang menguntungkan tahun lalu, prospek jangka menengahnya masih penuh ketidakpastian. Di tengah tantangan ini, perusahaan-perusahaan migas di Indonesia juga sedang memulai perjalanan mereka menuju NZE. Dengan mengambil tindakan yang tepat saat ini, perusahaan-perusahaan ini dapat menjadi pemimpin dalam menentukan sistem industri energi di masa depan.
Indonesia telah lama mengandalkan sektor minyak dan gas sebagai salah satu pilar ekonomi. Namun, dengan meningkatnya kebutuhan untuk berbisnis dengan prinsip ESG yang baik, peralihan ke energi baru terbarukan
Di berbagai belahan dunia, perusahaan-perusahaan migas telah memulai langkah-langkah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Beberapa perusahaan global terkemuka telah mengumumkan komitmen mereka untuk mencapai NZE dalam beberapa dekade ke depan. Contohnya, Aramco telah mengagendakan mencapai net zero pada emisi scope-1 dan scope-2 operasional nya pada tahun 2050.
Sementara itu, Shell memiliki target yang sama untuk mencapai net zero pada tahun 2050. Shell telah mengagendakan transformasi bisnis serta pengembangan energi rendah karbon seperti biofuel, hidrogen, stasiun pengisian kendaraan elektrik, dan generator listrik tenaga surya dan angin.
Namun, ExxonMobil lebih pesimistis bahwa net zero akan tercapai tepat waktu pada tahun 2050 dan mengungkapkan bahwa kegiatan eksplorasi minyak bumi harus dihentikan segera untuk mencapai target tersebut. Meskipun penurunan pasokan sumber daya energi dapat menyebabkan gejolak harga energi bagi masyarakat, seperti yang terjadi di Eropa tahun lalu.
Posisi Indonesia
Pemerintah berkomitmen mencapai net zero pada tahun 2060 melalui ikrar dan berbagai kebijakan, termasuk Peraturan Presiden RI Nomor 22 TAHUN 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang mendorong penggunaan EBT dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Sesuai dengan penelitian Chen (2022) bahwa penggunaan EBT dan teknologi ramah lingkungan berperan krusial untuk mencapai NZE. Regulasi nasional semakin mendukung tujuan perusahaan-perusahaan minyak dan gas di Indonesia untuk mencapai emisi bersih.
Pemerintah dapat membuat peta jalan secara bertahap untuk mencapai NZE (Zhao, 2022). Peta jalan ini menekankan aksi mitigasi melalui pengembangan energi terbarukan, khususnya tenaga surya, hidro, dan panas bumi. International Energy Agency (IEA) pada kuartal empat 2022 merekomendasikan agar Indonesia mereformasi kebijakannya dengan beralih ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada batu bara.
Laporan Global Energy Perspective McKinsey memperkirakan bahwa energi terbarukan akan menggantikan batu bara dan minyak sebagai sumber energi utama dengan biaya yang lebih rendah. International Renewable Energy Agency (IRENA) memperkirakan konsumsi batubara akan menurun sebesar 41 persen pada tahun 2030 dan terus menurun hingga 87 persen pada tahun 2050, membuka peluang besar bagi pengembangan energi terbarukan di masa depan.
Saat ini, perusahaan-perusahaan migas di Indonesia menghadapi tekanan dari investor, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk mengurangi emisi dan fokus pada keberlanjutan lingkungan sebagai bagian dari ESG. Mereka juga menghadapi risiko bisnis terkait perubahan iklim dan kebijakan lingkungan yang semakin ketat.
Selain tantangan mencapai target NZE pada tahun 2050, perusahaan migas di Indonesia juga menghadapi tantangan produktivitas sektor migas yang masih di bawah kebutuhan nasional. Untuk mencapai target eksplorasi nasional, sektor migas memerlukan peran pemerintah dalam merancang sistem fiskal yang tepat. Selain itu, penurunan minat investor asing terhadap industri migas juga menjadi tantangan. Perusahaan-perusahaan ini perlu mengurangi emisi karbon dalam operasional mereka untuk membuka peluang investasi lainnya.
Perusahaan-perusahaan migas di Indonesia dapat mengurangi emisi mereka menuju net zero dengan mengambil langkah-langkah berikut:
- Pemanfaatan Business Intelligence: Perusahaan dapat menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam industri ini untuk berinovasi menuju operasional rendah emisi atau menyediakan suplai energi terbarukan. Dengan mengadopsi sistem yang terhubung dan cerdas, perusahaan dapat mengoptimalkan data mereka untuk membuat keputusan yang lebih baik tentang alokasi modal, investasi, dan operasional.
- Capital Strategy: Perusahaan dapat memanfaatkan minat investor dalam energy security dan transisi energi dengan mengalokasikan modal pada solusi rendah karbon, seperti carbon capture, utilization, and storage (CCUS) atau sequestration. Ini akan meningkatkan minat investor pada perusahaan.
- Diversifikasi Portofolio Energi: Perusahaan dapat berinvestasi dalam sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, dan bioenergi, sebagai bagian dari diversifikasi portofolio bisnis mereka. Dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, perusahaan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca.
- Inovasi Teknologi dan R&D: Perusahaan harus mendorong inovasi teknologi dan melakukan R&D untuk menciptakan solusi yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Penggunaan teknologi seperti pemulihan karbon, penggunaan bahan bakar rendah karbon, dan energi terbarukan dalam operasional minyak dan gas akan membantu mencapai emisi bersih.
Perusahaan migas Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mencapai emisi bersih. Investasi besar dalam teknologi hijau, transisi ke energi terbarukan, dan restrukturisasi bisnis menjadi hal yang kompleks. Namun, ada peluang besar untuk menjadi pemimpin dalam transisi energi berkelanjutan.
Dengan mengadopsi praktik ESG, mematuhi regulasi, dan diversifikasi bisnis ke energi terbarukan, perusahaan dapat memperkuat keberlanjutan operasional, mengurangi dampak lingkungan, dan membangun kepercayaan. Dukungan regulasi dan infrastruktur berkelanjutan akan mendorong perusahaan mencapai tujuan emisi bersih. Dengan kesadaran dan komitmen bersama, perusahaan dapat menjadi pionir dalam industri dan memberikan kontribusi penting terhadap keberlanjutan lingkungan dan ekonomi Indonesia.
M Zulkifli adalah anggota Indonesia Management Strategic Society (ISMS) dan Executive Director ESG Association of Indonesia (ESG-AI).
SUMBER : KOMPAS.ID