Penulis : DR. Muhammad Nasir
tulisan ini adalah pendapat penulis sendiri dan tidak mewakili pandangan atau sikap resmi dari media infomigas.id
OPINI–Ketidakmampuan Bank Aceh Syariah (BAS) dalam mengelola dana ASR (Abandonment and Site Restoration) dari sektor migas bukan semata akibat eksternalitas kebijakan fiskal nasional, melainkan refleksi dari krisis tata kelola internal. Status non-devisa menjadi alasan formil, namun di balik itu tersembunyi akar persoalan yang lebih substantif: tidak efektifnya kepemimpinan strategis dan stagnasi manajerial, khususnya pada level direksi.
Ketika bank daerah tidak mampu meraih status devisa karena kebuntuan struktural internal, maka ruang fiskal dan instrumen ekonomi daerah akan selalu tersandera oleh lembaga keuangan nasional. Ini bukan saja merugikan dari sisi efisiensi ekonomi, tapi juga melemahkan semangat otonomi daerah yang telah diperjuangkan secara historis.
Solusinya bukan tambal-sulam administratif, melainkan rekonstruksi menyeluruh terhadap etika kepemimpinan dan tata kelola BAS. Reformasi internal harus menjadi agenda prioritas: mulai dari penyegaran direksi yang kredibel dan kompeten, hingga penguatan roadmap kelembagaan yang berorientasi pada akselerasi status devisa.
Hanya dengan itu, BAS dapat memainkan peran strategis dalam ekosistem fiskal Aceh dan memastikan bahwa dana yang berasal dari bumi Aceh benar-benar dikelola oleh anak kandungnya sendiri.[*]
* Muhammad Nasir adalah
Dosen tetap pada Magister Keuangan Islam Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe, Aceh.