INFOMIGAS.ID | Jakarta–Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus mendalami skandal dugaan korupsi dalam pengadaan liquefied natural gas (LNG) di PT Pertamina (Persero). Dalam perkembangan terbaru, penyidik KPK memanggil mantan anggota Dewan Komisaris Pertamina, Evita Herawati Legowo, untuk dimintai keterangan, Kamis (26/6/2025).
Evita merupakan anggota dewan komisaris PT Pertamina pada periode Mei 2010–April 2013. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kasus ini terjadi dalam pengadaan LNG dari tahun 2011 sampai tahun 2021 dan telah menyeret sejumlah nama besar di industri energi nasional, salah satunya adalah mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan, yang telah divonis sembilan tahun penjara dalam kasus yang sama.
KPK telah menetapkan dua tersangka baru dalam pengembangan perkara ini, yakni mantan Senior Vice President (SPV) Gas and Power PT Pertamina, Yenni Andayani (YA), dan eks Direktur Gas PT Pertamina, Hari Karyuliarto (HK).
“Pemeriksaan mantan komisaris Pertamina Evita Herawati Legowo berlangsung di Gedung Merah Putih KPK,” kata juru bicara KPK, Budi Prasetyo yang dilansir fajar.co.id
Selain Evita, penyidik juga memanggil Gusrizal, yang pernah menjabat sebagai Senior Vice President Corporate Strategic Growth di Direktorat PIMP Pertamina. Meski begitu, KPK belum merinci informasi spesifik yang ingin digali dari keduanya.
Pemanggilan ini diduga menjadi bagian penting dari pengembangan penyidikan pasca-vonis Karen Agustiawan. Evita dan Gusrizal diyakini mengetahui proses pengambilan keputusan strategis di tubuh Pertamina saat proyek LNG ini berlangsung.
Modus korupsi dalam pengadaan LNG ini mencakup penyimpangan dalam proses perencanaan, penunjukan mitra, hingga kontrak pembelian LNG dari perusahaan luar negeri. KPK menekankan bahwa proses pengadaan LNG dilakukan tanpa kajian menyeluruh dan menyimpang dari aturan internal perusahaan.
Akibatnya, negara tak hanya menderita kerugian keuangan, namun juga kehilangan potensi strategis dalam pengelolaan energi jangka panjang.
Dalam konstruksi perkaranya, pengadaan LNG dilakukan Pertamina pada 2012 sebagai upaya mengatasi defisit gas di Indonesia yang diperkirakan terjadi sepanjang 2009 hingga 2040. LNG tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan PT PLN, industri pupuk, serta industri petrokimia.
Namun, keputusan kerja sama dengan sejumlah produsen dan pemasok LNG luar negeri, termasuk perusahaan asal Amerika Serikat, CCL LLC, dilakukan secara sepihak oleh Dirut Pertamina saat itu tanpa kajian mendalam. Keputusan ini juga tidak dilaporkan ke Dewan Komisaris maupun dibahas dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dalam hal ini pemerintah.
Seluruh kargo LNG yang dibeli dari CCL LLC tidak terserap oleh pasar domestik karena kelebihan pasokan atau oversupply, sehingga LNG tersebut dijual dengan harga merugi di pasar internasional. Akibatnya, keuangan negara hingga dirugikan sekitar USD140 juta, atau sekira Rp2,1 triliun, kata KPK. [*]
*kbc